Minggu, 30 November 2014

Aceh, travellink, wisata, budaya, kerajaan, kerajaan trumon

Tidak terhalang sedikitpun oleh hembusan angin dari Samudra Hindia, puluhan batang kelapa menjulang tegak diatas tanah bekas kerajaan Trumon. Nyiurnya melambai mengundang siapa saja yang datang untuk mendengar cerita.

Di antara pemukiman warga, di bawah nyiur, satu benteng bernama Kuta Batee yang dibangun semasa raja Trumon kedua (dua) memerintah yakni Teuku Radja Budjang (1812-1835 M) seperti menunggu hancur. Di masanya pula Kerajaan Trumon masuk dalam federasi Kerajaan Aceh Darussalam yang ditandai dengan pemberian dan penggunaaan Cap Sikureung sebagai stempel kerajaannya.

Konon, silsilah Raja Trumon berasal dari Asia Kecil keturunan suku bangsa di jazirah Arab. Dimulai dari Dja Thahir dari Bagdad yang mengawali silsilah dengan hijrah ke Timur (Aceh) dan menetap di Batee-Pidie. Satu dari sejumlah putra kandung Dja Thahir, yakni Dja Abdullah dengan nama lain Dullah yang juga menetap di Batee. Dari garis keturunannya tersebutlah seorang lainnya, yakni Dja Djohan, ia seorang ayah dari murid Tgk Dianjong Peulanggan. Mengawali perjalanan ke yang diperintahkan oleh gurunya ke wilayah Barat Aceh, sampailah Teuku Djakfar ke Ujong Serangga Susoh.

Selama di sana Teuku Djakfar digelari Labai Djakfar, ini berkat pengabdiannya mengajarkan ilmu agama Islam kepada masyarakat disana sebelum ia meninggalkan Susoh dan melanjutkan pengembaraan Islam-nya ke Singkil. Di sana, Raja pertama Kerajaan Trumon ini berhasil membuka dan membangun satu gampong bernama Paya Bombong, selama di sana pula ia diangkat menjadi Raja bergelar Teuku Radja Djakfar atau Teuku Singkil dengan sejumlah wilayah yang tunduk dibawahnya, antara lain Paya Bombong, Paya Bakong, Teluk Ambon, Rantau Gedang dan Teluk Rumbia.

Ulama sekaligus Raja yang makamnya berada di belakang Mesjid Keude Trumon itulah yang kemudian menjadi pembuka lembaran sejarah Kerajaan Trumon sekaligus naik tahta pada tahun (1720-1812 M). Belakangan, harumnya Kerajaan Trumon tidak lagi ramai diperbicangkan.

Pada Jumat (23/5/2014), kami berkesempatan berkunjung ke sana. Saat pertama kali kaki menginjak tanah bersejarah tersebut, kesan ketangguhan dan kebesaran dari kerajaan penghasil lada tersebut sangat mudah diketahui. Kebanyakan masyarakat asli masih menyimpan kisah negeri mereka dalam ingatan untuk diceritakan kembali kepada keturunannya, atau sekedar bahan diskusi mengenang kata “Kejayaan” walau hanya tinggal sisa sejarahnya saja.

Didampingi Teuku Herman (53) yang tinggal seratus-an meter dari situs tersebut, bekas orang yang pernah menjadi juru kunci kerajaan pesisir ini membeberkan hampir semua yang ia ketahui dan memilih diam untuk beberapa pertanyaan yang ia tidak mampu menjawab.
Setelah berbincang sekitar tiga jam lebih, T Herman kemudian membawa kami ke komplek makam Raja, ada banyak nisan berukir di dalam komplek yang dipayungi pohon beringin. Selama di sana, ia hanya memberitahukan 2 (dua) diantaranya, yakni makam Teuku Raja Djakfar dan Teuku Radja Budjang. Sebentar saja, lalu ia mengajak kami ke satu bangunan dengan tembok persegi empat yang lebih kurang seukuran lapangan bola kaki.

Dari suasana benteng dengan ketebalan tembok bawah sekitar sekitar 3 (tiga) meter dan tembok atas 1 (satu) meter tersebut tidak terlihat ramai dikunjungi, bahkan cagar budaya ini masih jauh dari kesan terpelihara. Dua gerbangnya, yakni gerbang depan berdiri kokoh di sebelah barat yang menghadap Samudra Hindia, dari kondisinya dapat diketahui bahwa pintu ini tidak pernah lagi dilewati. Gerbang belakang yang berada di sebelah selatan dan tembus ke pemukiman-lah sekarang digunakan untuk akses ke benteng.  Keduanya gerbang itu hanya di tutupi sekedarnya saja dengan papan seadanya yang berfungsi sebagai pintu pembatas.
“Ini masih ada bekas tangga rumah raja dalam benteng,” kata T Herman menunjuk beton. Sebagian besar tangga itu benar-benar telah menjadi puing, setidaknya itulah yang terlihat.
Katanya lagi, benteng pertama dibangun dan terbesar di Trumon ini, seluruh kendalinya dipercayakan pada anak kedua Teuku Radja Budjang, yaitu Teuku Ibrahim Kuta Batee. Bangunan tua inilah menjadi pertahanan terakhir kala negeri yang berasal dari kata Trueng Bineh Mon itu diserang musuh.

Aceh, wisata, budaya, travellink, kerajaan trumon, benteng

Demi keamanan pemimpin, sehingga rumah Raja pun dibangun di dalam benteng berikut dengan alat perang dan fasilitas pendukung lainnya. Di seluruh bagian dinding benteng yang tinggi sekitar lima meter tersebut, 25 lubang hampir membentuk lingkaran berdiameter 40-50 cm sengaja dibuka. Di samping setiap lubang tersebut juga ada lubang kecil bulat sebesar mulut gelas, itu jumlahnya puluhan.
“Yang besar untuk meletakkan moncong meriam, tapi sekarang tinggal besi pengikat meriam saja. Sedangkan lubang kecil untuk mengintip musuh,” kata guide lokal yang juga masih terbilang inses Raja Trumon.
Dari penuturannya, seiring waktu berjalan dan kurangnya pengawasan dari keluarga kerajaan dan pemerintah, kini hanya 4 (empat)  unit meriam saja yang masih ada dalam kawasan Keude Trumon. Tiga unit bisa dilihat di depan rumah raja Trumon terakhir, dan satunya di kantor Camat Trumon, sedankan yang lainnya sudah dibawa ke luar. Bahkan dari informasi yang ia dapat, di kantor Bupati Aceh Selatan juga masih tersisa satu meriam besar dari kerajaan Trumon.

 “Semasih saya di sini, dalam benteng penuh semak, ada pohon pisang dan pohon nira juga. Lalu saya bersihkan hingga bersih seperti sekarang,” katanya menjelaskan kondisi Kuta Batee yang di dalamnya juga masih ada sumur dan satu bangunan berbentuk rumah beton sekira 3×3,5 cm luas dan tinggi 1,5 meter. Rumah beton itu katanya lokasi untuk membuat mata uang kerajaan, beberapa keping mata uang berbahan tembaga dengan nilai dua kupang ditulis dengan huruf arab melayu itu kini masih bisa dijumpai pada warga setempat.

Aceh, wisata, travellink, budaya, kerajaan trumon, sumur

Semasa T Herman bertugas, berkat mimpinya ia juga menemukan satu terowongan dalam area benteng. Ia sendiri tidak mampu menjelaskan kemana arah terowongan yang digali di sebelah timur benteng itu. Untuk menguak rahasia yang terkandung dalam terowongan itu, lelaki berperawakan keras ini melaporkan temuannya pada pihak terkait. Harapannya, pemerintah dapat memfasilitasi penelusuran demi menjawab penggalan sejarah yang tersimpan disana.

“Saya sudah laporkan tentang terowongan itu, tapi petugas dari pemerintah menutup terowongannya  dan saya tidak tahu apa sebabnya,” ujarnya sembari mengernyitkan keningnya.

Di antara kisah tentang megahnya kerajaan Trumon, tercatat pula bahwa pada tahun 1823 H se-masa Teuku Radja Budjang bertahta, dibantu oleh adiknya Teuku Radja Sulaiman, yang saat itu menjabat sebagai Ulee Balang Paya Bombong, mereka turut berpartisipasi dalam pembangunan pemondokan haji di Arab Suadi untuk masyarakat Aceh yang masih digunakan hingga sekarang. Setahun setelahnya, kerajaan ini juga membiayai penuh armada laut Kerajaan Aceh untuk menyerbu benteng Belanda Port Tapanuli di pulau Poncan.

Dalam menjalin hubungan dengan kerajaan di luar Aceh, tahun 1827 Masehi, saat perang Padri berlangsung di Sumatera Barat, Teuku Radja Bujang mengirimkan sejumlah peralatan perang dan mesiu. Setelah itulah, kerajaan mendirikan benteng induk yang diberi nama Kuta Batee. Selain Kuta Batee, kerajaan Trumon juga memiliki dua benteng lain yang dibangun oleh Teuku Radja Batak yang bernama lain Teuku Radja Fansuri Alamsyah, ia adalah anak kandung ke 3 (tiga) dari Teuku Radja Bujang. Ia dipercayakan naik tahta setelah ayahnya mangkat pada tahun 1835 Masehi.

Dari pengakuan sumber lain yang layak dipercaya dijumpai di Trumon, kondisi keluarga keturunan langsung kerajaan Trumon mengalami perselisihan yang berujung pada terhambatnya pembangunan dan renovasi benteng yang sudah direncanakan oleh Pemerintah. Sayangnya lagi,  sejumlah harta peninggalan kerajaan Trumon berupa rumah raja terakhir dan aset tanah yang masih tinggal kini sudah dijual oleh mereka yang masih dalam garis keturunan kerajaan Trumon sendiri.

Dari jalan setapak di samping Kuta Batee, sebelum pulang kami beranjak ke pelabuhan kecil di ujung jalan Keude Trumon, kurang dari sepuluh boat ikan kecil terparkir di sana. Awan mendung di atas hamparan laut lepas jelas terlihat dari tempat kami berdiri, banyak juga masyarakat bersantai sore di depan ruko kayu yang dibangun berhadapan dan hanya satu dua saja yang sudah beton. Setumpuk hunian masyarakat itu berdiri malas tepat sebelah utara di belakang Kuta Batee.

Setelah sejenak melalaikan mata dengan pemandangan lautan dan muara kecil tempat biasanya warga memancing memakai perahu, jelang magrib kami kembali ke rumah T Herman yang sengaja digelapkan oleh PLN karena instalasi listrik dirumahnya seminggu lalu dilakukan pumutusan. Kata T Herman, ia belum mampu membayar tagihannya dan sejak saat itu ia menggunakan lampu teplok buatan sendiri. Malam itu, ia bersama istri dan ketiga anaknya tidur lebih awal dalam remang lampu teplok. ( zamroe)

(Note: sumber pendukung diambil dari tulisan T Hamdan bin T Djohan “ Kerajaan Trumon Dalam Untaian Mata Rantai Sejarah Bangsa. Wakilah ahli waris kerajaan Trumon ini bermukim di Ladang Rimba, Aceh Selatan).


Semoga bermanfaat
#KeepBlogging

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts