Secara administratif, Buloh Seuma sekarang berada dalam Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan. Konon, Trumon adalah satu kerajaan besar, ini ditandai dengan beberapa situs sejarah yang masih kokoh berdiri disana, seperti benteng, istana kerajaan dan mata uang sendiri, pun masih ada orang-orang disana yang masih bertalian darah dengan raja.
Berbeda dengan dahulu, kini Kemukiman Buloh Seuma yang memiliki luas wilayah 30.600 Ha/m2 serta lahan pertanian dan perkebunan seluas 19.932 Ha, yang meliputi 3 (tiga) gampong, yakni Kuta Padang, Raket dan Teungoh, sudah mulai menikmati pembangunan yang layak. Dari sejarah yang hidup dalam masyarakat, daerah ini pernah tercatat sebagai sentra penghasil lada pada masa kejayaan kerajaan Trumon.
Setelah lada menghilang, sekarang ini, wilayah yang akan menjadi “bekas pedalaman” yang berbatasan langsung dengan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), lebih dikenal sebagai sentra penghasil madu alam.Keseluruhan warga tiga Gampong tersebut, sesuai data verbal dari apatur Gampong setempat, hingga akhir april 2014, populasi mencapai 300 KK dengan 800 jiwa. Warga yang pernah “mati” saat konflik Aceh melanda , juga tidak segan-segan mengaku, sejak zaman kemerdekaan dan daerah mereka baru sekarang akan merdeka. Ini karena masyarakat yang hidup dia antara hamparan hutan dan tanah rawa gambut ini baru akan mencicipi yang namanya pembangunan, walau sebenarnya sudah jauh-jauh hari mereka dambakan.
Dalam perjalanan Travellink pekan lalu ke satu bagian kecil wilayah kerajaan Trumon tersebut, wilayah yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia dan didukung oleh pemandangan yang membuat mata nyaman ini, sudah sedikit berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, terutama dalam geliat pemerataan pembangunan.
Saat melewati jalan tanah yang masih bersisa lumpur lantaran genangan air hujan, di sepanjang sisi jalan masih sangat mudah dijumpai tegakan pohon yang sudah berumur ratusan tahun, atau sisa kayu olahan untuk menutup lumpur agar mudah dilalui kendaraan.
Mundur sekitar sepuluh kilometer sebelum memasuki tanah Buloh Seuma, 2 (dua) gampong lebih awal menyambut siapa saja yang datang, yakni Ie Medama dan Teupin Tinggi. Dari ujung jalan gampong tersebut kita mulai menjelajah langsung Buloh Seuma sebenarnya.
Disepanjang jalan itu pula, kurang dari 20 perkebunan warga disepanjang jalan juga mulai nampak. Sebagiannya sudah ditanam kelapa sawit, disela-selannya, sembari menunggu sawit panen, masyarakat memilih menanam palawija.
Kenikmatan alami lainnya berupa aroma khas hutan rawa masih dapat dirasakan indra cium, aroma itu mengingatkan kami pada sedikit rawa yang masih tersisa di Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya. Setiap aliran sungai yang terlewati juga masih ber-air coklat kehitam-hitaman, pertanda bahwa sebagian hutan disana memang rawa. “Di beberapa tempat, sungai yang airnya terbilang hitam legam juga dihuni oleh banyak jenis ikan yang berwarna hitam pula,” begitu kata T. Herman yang memandu perjalanan.
Tidak hanya itu, dalam perjalanan terekam kegiatan masyarakat yang masih memanfaatkan hutan sebagai sumber utama ekonomi mereka juga mudah ditemui. Di ruas jalan lain dalam perjalanan, masih jarang ditemui masyarakat memapah atau mengangkut bibit sawit ke lahan mereka, hanya satu atau dua dari mereka. Itu karena umumnya, masyarakat setempat masih mungkin menggantungkan hidup mereka dari hasil laut, rawa dan hutan yang masih terbilang sangat luas untuk dikelola dengan nilai-nilai adat setempat.
Setelah perjalanan lebih kurang dua jam, lepas Magrib, dalam hening pedesaan, Travellink tiba di rumah berdinding papan. Dari dindingnya, dapat dipastikan rumah tersebut belum lama dibangun. Itulah rumah yang pertama dijumpai begitu memasuki Boluh Seuma saat ini, itu berhadapan langsung dengan satu-satunya SMP disana. Cerita pemiliknya, semua material rumahnya langsung diambil dari kayu hutan setempat. Rumah sederhana itu dikelilingi kebun jagung, semuanya milik Umar Sani (32), warga Kuta Padang. Ia sendiri mengaku pernah terlibat langsung dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Sementara ini, setelah Aceh damai sudah ada pembangunan jalan tembus ke Buloh Seuma,” begitu kata Umar Sani usai makan malam. Pembicaraan panjang malam itu hanya diterangi dua lampu teplok olahan dari botol bekas obat milik anaknya.
Pagi hari Minggu (18/5/2014), dalam suasana gerimis, Buloh Seuma masih jelas terlihat, aktifitas masyarakat sudah mulai menggeliat. Empat lelaki tua duduk bersenda di beranda warung kecil, pintunya setengah terbuka. Satu diantara mereka sibuk memilin tembakau rokok daun, secara sembarangan, sesekali mereka menapak tilas bagaimana hidup di Buloh Seuma saat mereka muda.
Di badan jalan utama tanah gampong, tanah kuning yang masih becek seperti sudah akrab dilewati. Tidak jarang pula diantara puluhan rumah berjejer disepanjang jalan Kuta Padang, puluhan motor nampak lalu lalang. Dari warung, empat kakek bersenda di seberang jalan. Satu mobil L.300 bak terbuka pengangkut hasil pertanian terparkir rapi di bawah pohon sawit yang tumbuh subur di depan rumah beton. Di ruas jalan itu juga, kami bertemu pria ramah bernama Zulbaili selaku Keuchik (kelapa desa) Gampong Teungoh.
Tidak sampai lima menit berbincang, keuchik berusia muda itu meminta kami untuk menunggunya di jembatan yang sudah ambruk, karena ia harus menjemput ibunya. Jembatan itu berlokasi hitungan langkah dari tempat bertemu, sementara ia menyeberang sungai yang menghubungkan Kuta Padang dengan Raket dengan berjalan kaki di atas jembatan tersebut.
Sesampai diseberang, Zulbaili menyeberangkan kembali rakit untuk menjemput kami dan ibu-nya. Usai dari sana, kita kembali disambut jalan tanah bekas rawa di Gampong Raket. Dari sebagian ruas jalan gampong, hanya ratusan meter saja jalan rabat beton yang telah dibangun sekitar dua tahun. Kondisi jalan yang dibangun dengan dana PNPM tersebut sekarang sudah ada yang tertimbun tanah, dan banyak bagian telah rusak.
Sebelumnya, sejak akhir tahun 90-an, menurut Zulbaili, sebenarnya wacana pembangunan jalan tembus ke “tanah madu” ini sudah mulai dilakukan, dan baru beberapa tahun belakangan ini tanah moyang mereka benar-benar dapat dilalui walau masih perlu pembangunan lanjutan. Memang, dalam proses menuntut pembangunan yang berkeadilan, warga disana sempat meminta memisahkan diri dari Kabupaten Aceh Selatan jika saja pembangunan jalan tembus tidak terealisasi.
Dalam prosesnya, seingat Zul, saat itu masih ada perdebatan panjang dalam perspektif lingkungan karena wilayah ini masuk dalam area KEL. Sebabnya, beberapa LSM lingkungan menentang pembangunan jalan tersebut. Alasannyanya, ditakutkan pembukaan jalan sepanjang lebih kurang 37 kilometer yang menghubungkan Trumon sebagai pusat kecamatan dengan Buloh Seuma itu akan berdampak pada kerusakan hutan dan rawa di sekitarnya.
“Kami tidak ada niat merusak hutan dan hanya butuh jalan saja, karena hutan sumber ekonomi warga. Contohnya saja Rubek (sebutan lokal pohon penghasil madu), berkat dampingan LSM kami sudah buat aturan gampong untuk itu,” jelasnya tanpa didahului pertanyaan.
Umumnya juga warga mengatakan, sebelum ada jalan tembus, mereka merasa terisolir. Satu-satunya akses menuju ke gampong atau sebaliknya hanya lewat jalan laut. Kalau cuaca sedang tidak bersahabat, kebanyakan warga memilih tidak keluar. “Maka wajar kalau saat itu warga sangat membutuhkan jalan tembus untuk memudahkan aktifitas mereka,” kenang Zulbaili yang sekarang menjabat Keuchik Gampong Teungoh selepas dari ayahnya yang juga keuchik setempat.
Katanya lagi, sementara ini di Kemukiman Buloh Seuma mulai dilakukan pembangunan infrastruktur penunjang, antara lain jalan tembus antar gampong. Itu baru ada setelah program PNPM masuk ke gampong, seperti jalan tembus dari Raket ke Gampong Teungoh. Sebelumnya, hanya transportasi air satu-satu akses sesama mereka.
“Semua dana untuk pembangunan jalan sepanjang tujuh kilometer itu bersumber dari PNPM, ini sudah selesai. Namun masih ada empat kilometer lagi yang dibutuhkan, ” ujar keuchik yang belum pernah merasakan bagaimana suasana kerja kantor keuchik, itu juga dirasakan oleh dua keuchik lainnya. Karena di tiga gampong tersebut memang belum ada pembangunan kantor keuchik.
Selain itu, ungkap Zul yang juga dikenal lihai memanen madu alam, sekitar dua bulan ke belakang, sebelum pemilu legislatif, Wakil Gubernur Aceh Muzakkir Manaf beserta rombongan juga sudah berkunjung langsung ke sana. Bahkan mobilnya sampai di Gampong Raket dan waktu itu jembatan belum ambruk.
Selanjutnya, M Amin Keuchik Gampong Raket yang dijumpai menuturkan, kehidupan sosial masyarakatnya sudah mulai membaik, walau beberapa persoalan masih perlu perhatian serius dari pemerintah kabupaten. Ini untuk mempercepat pembangunan yang sudah lama diinginkan oleh masyarakatnya.
“Saat ini sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, tinggal saja peningkatan Sumber Daya Manusia untuk mengelola kekayaan alamnya,” katanya didampingi Zainal Sekdes Gampong Teungoh.
Sembari menikmati teh panas pada siang selepas hujan itu, M Amin juga menginformasikan bahwa dalam kemukiman mereka sekarang, pemerintah kabupaten telah mencetak puluhan hektare sawah baru. Program ini menurutnya sangat berguna, setidaknya dapat menjamin kebutuhan pangan warga sendiri.
Persoalan penerangan di Buloh Seuma juga akan segera terjawab, pasalnya saat ini aliran listrik sedang dalam pengerjaan dan akan segera tuntas dalam dua bulan kedepan. Seperti kata M Sakdan, pekerja lapangan dari CV Sinar Bintang selaku rekanan proyek tersebut, pengerjaan pemasangan instalasi direncanakan siap sebelum ramadhan tahun ini.
“Sementara ini masih sebatas pengerjaan pemasangan tiang dan kabel saja, dan itu sudah lebih dari setengah pekerjaan,” katanya.
Dari amatan langsung di lapangan dalam perjalanan singkat, seluruh jembatan menuju ke sana yang dijumpai sepanjang jalan menuju tiga gampong dalam Kemukiman Buloh Seuma masih terbilang cukup walau hanya berbahan kayu. Bahkan satu jembatan utama yang menghubungkan Gampong Kuta Padang dengan Raket, kini sudah rubuh dan harus digantikan kembali dengan rakit kembali.
Ditemui secara terpisah, Rabu (21/5/2013), Bupati Aceh Selatan T Sama Indra telah menjawab komitmen pembangunan di tanah bekas penghasil lada tersebut. Dimulai dengan membuka jalan tembus kesana pada 2013 lalu, direncanakan pula 2015 sudah mencapai Singkil sebagai kabupaten yang masih erat kaitan jika dilihat dari sejarah keduanya.
Selain itu, katanya, semua dinas juga sudah melihat langsung kondisi Buloh Seuma. “Makanya kita minta semua dinas agar memberikan perhatian khusus. Seperti tahun lalu, semua dinas kita ajak ‘meuramin’ ke sana dan itu menjadi bahan dalam merancang program,” ujar Bupati. “Juni tahun ini, dengan dana APBN proyek pengembangan jalan ke Buloh Seuma mulai dikerjakan. Setelah itu dilanjutkan juga dengan pembukaan jalan tembus lainnya, yang pada 2015 direncanakan jalan tersebut sudah mencapai Kabupaten Singkil,” katanya singkat menjawab perkembangan akses jalan sebagai solusi yang dipercaya dapat membebaskan Buloh Seuma dari kata terisolasi.
Dikutip dari catatan perjalanan Rizki Affiat yang ditulis untuk kompasiana com, juli 2011 populasi di Buloh Seuma mencapai 765 jiwa dengan 171 KK, dengan mata pencaharian 70 sebagai petani, 20 persen nelayan, 10 persen sebagai peternak madu dan penjualan kecil-kecilan. Sementara tingkat pendidikan masyarakat sangat rendah yaitu rata-rata tidak tamat sekolah dasar. Tingkat buta huruf juga cukup tinggi. Di Desa Kuta Padang diperkirakan mencapai 60 persen, lalu di Desa Rakit 40 persen, sedangkan di Desa Gampong Tengoh mencapai 60 persen. Mereka yang buta huruf tersebut rata-rata adalah warga di atas 35 tahun.
Hal ini terjadi karena sekolah dasar dan menengah pertama baru ada di wilayah ini dalam beberapa tahun terakhir. Angka putus sekolah tergolong tinggi, khususnya dari lulusan sekolah dasar ke sekolah menengah pertama. Apalagi dari lulusan sekolah menengah pertama ke menengah atas. Hanya sekitar 70 persen lulusan sekolah dasar yang melanjutkan ke jenjang SMP. Dan, hanya 25 persen lulusan SMP yang melanjutkan ke jenjang SLTA.
Sumber ; zamroe
Semoga bermanfaat
#KeepBlogging
0 komentar:
Posting Komentar